Curiculum Vitae

Mataram , Nusa Tenggara Barat, Indonesia

Kamis, 17 Januari 2013

konsep tqm


1.     Konsep TQM (Total Quality Management)

1).   Sejarah Singkat Perkembangan TQM

Dalam sejarahnya, TQM mengalami evolusi yang begitu unik, mengapa dikatakan unik? Karena gerakannya dimulai dari masa studi waktu dan gerak oleh Bapak Manajemen Ilmiah Frederik Taylor pada tahun 1920-an. Gerakan-gerakan seperti itu terus berkembang sampai puncaknya dimana TQM diajarkan di universitas-universitas di Amerika mulai pada tahun 1950-an.
Selanjutnya aspek yang paling mendasar dari manajemen ilmiah adalah adanya pemisahan antara perencanaan dan pelaksanaan. Meskipun pembagian tugas tersebut telah mendapatkan peningkatan besar dalam hal produktivitas, sebenarnya konsep pembagian tugas tersebut telah menyisihkan konsep lama mengenai keahlian/keterampilan, dimana individu yang sangat terampil melakukan semua pekerjaan yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk yang berkualitas.  Manajemen ilmiah Taylor mengatasi hal ini dengan membuat perencanaan tugas manajemen dan tugas tenaga kerja. Untuk mempertahakankan kualitas produk dan jasa yang dihasilkan maka dibentuklah dipartemen kualitas yang terpisah. (Fandy Tjiptono. dkk., 2001).
Berbicara tentang kualitas memang gampang untuk mengucapkannya, akan tetapi dalam pelaksanaannya misalnya pada industri manufactur, kualitas akan barang menjadi hal yang semakin sulit.  Saking sulit dan kompleknya mendorong timbulnya quality engineering pada tahun 1920-an dan reliability engineering pada tahun 1950-an. Selanjutnya QE tersebutlah yang mendorong timbulnya penggunaan metode-metode statistic dalam pengendalian kualitas, yang akhirnya mengarah kepada konsep control charts dan statistical process control. Kedua konsep inilah yang merupakan aspek mendasar dari TQM.
Kemudian perkembangan TQM yang dimulai pada tahun 1920-an tersebut terus merambah  ke berbagai negara. “Dalam perkembangannya, TQM sangat dipengaruhi oleh perkembangan-perkembangan di Jepang, namun tidaklah dapat dikatakan bahwa TQM merupakan buatan Jepang, karena banyak aspek TQM yang berasal dari Amerika”. (Schmidt dan Finnigan. 1992, dalam Bounds, et. al. , 1994, p.61. , dalam Fandy Tjiptono. dkk., 2001) diantaranya:
a).    Manajemen ilmiah, yaitu berupaya menemukan satu cara terbaik dalam melakukan suatu pekerjaan.
b).    Dinamika kelompok, mengupayakan dan mengorganisasikan kekuatan pengalaman kelompok.
c).    Pelatihan dan pengembangan yang merupakan investasi dalam sumberdaya manusia.
d).   Motivasi berprestasi
e).    Keterlibatan karyawan
f).     Sistem sosioteknikal, dimana organisasi beroperasi sebagai system yang terbuka.
g).    Pengembangan organisasi
h).    Budaya organisasi, yaitu menyangkut keyakinan, mitos dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku setiap orang dalam organisasi.
i).      Teori kepemimpinan baru, yakni menginspirasikan dan membedayakan orang lain untuk bertindak.
j).      Konsep linking-pin dalam organisasi, yaitu membentuk tim fungsional silang.
k).    Perencanaan strategis.

2).  Definisi TQM

Dalam perjalanannya yang begitu panjang yaitu dari tahun 1920-an sampai tahun 1950-an, “pendefinisian TQM beragam sekali misalnya TQM diartikan sebagai perpaduan semua fungsi dari perusahaan ke dalam falsafah holistic yang dibangun berdasarkan konsep kualitas, teamwork, produktivitas, dan pengertian seerta kepuasan pelanggan”. (Ishikawa dalam Pwitra, 1993, p. 135, dalam Fandy Tjiptono, dkk., 2001).
Untuk menghindari pendefinisian yang beragam tersebutlah, berikut ini pengertian TQM dibedakan dalam 2 aspek. Aspek pertama mengungkapkan tentang apakah TQM itu, dan aspek kedua membahas tentang bagaimana mencapainya. Jadi, TQM merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui pendekatan terus-menerus atas produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungannya.

3).  Landasan dan Akar TQM

Landasan TQM adalah statistical proses control (SPC) yang merupakan model manajemen manufaktur, yang pertama-tama diperkenalkan oleh Edwards Deming dan Joseph Juran sesudah PD II guna membantu bangsa Jepang membangun kembali infrastruktur negaranya. Ajarang Deming dan Juran itu berkembang terus hingga kemudian dinamakan TQM oleh US Navy pada tahun 1985. Selanjutnya TQM terus mengalami evolusi, menjadi semakin matang dan mengalami deversifikasi untuk aplikasi di bidang manufaktur, industri jasa, kesehatan dan dewasa ini juga di bidang pendidikan. (Soewarso H., 2002).
Mengikuti ajaran Deming, Juran dan Philip Crosby dalam menerapkan TQM memang perlu, akan tetapi belumlah cukup, hal ini disebabkan karena TQM terus mengalami perubahan, maksudnya dalam menghayati state-of-the art TQM tidak cukup hanya dengan memahami TQM saja, akan tetapi lebih dari itu, diperlukan kontribusi bidang manajemen dan organizational effectiveness dalam membangun TQM sebagai dimensi yang lain. Dimensi tersebutlah yang kemudian dapat disebut sebagai akar TQM.
Hasil evolusi TQM yang terdiri dari group dynamics, organization development (OD), Sociotechnical systems tersebutlah yang kemudian dikembangkan di Jepang pada tahun 1950-an, dan selanjutnya dikembangkan di Amerika pertama kali tahun 1980-an. Bila dilihat dari perkembangannya maka penerapan TQM dalam berbagai bidang membutuhkan kerangka sendiri dalam manajemen kualitas.

4).  Perbedaan TQM dengan Manajemen Lainnya

TQM yang kenal saat ini berbeda alur dan asalnya dengan inovasi manajemen dan organisasi yang lain yang tumbuh setelah periode Perang Dunia ke-II, seperti management by objectives (MBO), time-based management, dan strategic management of core competences.
Ada 4 perbedaan pokok antara TQM dengan metode manajemen lainnya bila ditinjau dari asal muasal dan alur pendiriannya:
a).    Asal intelektualnya. Sebagian besar teori dan teknik manajemen berasal dari ilmu-ilmu sosial. Ilmu ekonomi mikro merupakan dasar dari sebagian besar teknik-teknik manajemen keuangan (misalnya analisis discounted cash flow, dan penilaian sekuritas); ilmu psikologi mendasar teknik pemasaran dan decision support system; dan sosiologi memberikan dasar konseptual bagi desain organisasi. Sementara itu dasar teoritis dari TQM adalah statistic. Inti dari TQM adalah Statistical Proses Control (SPC) yang didasarkan pada sampling dan analisis varians.
b).    Sumber Inovasinya. Bila sebagian besar ide dan teknis manajemen bersumber dari sekolah bisnis dan perusahaan konsultan manajemen terkemuka, maka inovasi  TQM sebagian besar dihasilkan oleh para pionir yang pada umumnya adalah insinyur teknik industri dan ahli fisika yang bekerja di sector industri dan pemerintah.
c).    Asal negara kelahirannya. Kebanyakan knsep dan teknik dalam manajemen keuangan, pemasaran, manajemen strategic, dan desain organisasi berasal dari Amerika Serikat dan kemudian tersebar ke seluruh dunia. Sebaliknya TQM yang semula berasal dari Amerika Serikat, kemudian lebih banyak dikembangkan di Jepang dan kemudian berkembang ke Amerika Utara dan Eropa. Jadi TQM Mengintegrasikan keterampilan teknikal dan analisis dari Amerika, keahlian implementasi dan pengorganisasian Jeang, serta trandisi keahlian dan integritas dari Eropa dan Asia.
d).   Proses diseminai atau penyebaran. Penyebaran sebagian besar manajamen modern bersifat hirarkis dan top-down. Yang mempeloporinya biasanya adalah perusahaan-perusahaan raksasa seperti General Electric, IBM, dan General Motors. Sedangkan gerakan perbaikan kualitas merupakan proses bottom up, yang dipelopori perusahaan-perusahaan kecil. Dalam implementasi TQM, pengerak utamanya tidaklah selalu CEO, tetapi seringkali malah manajer departemen atau manajer divisi.

C. Perkembangan Pemikiran Mengenai Kualitas

1.     Sejarah Singkat Mengenai Kualitas

Dalam buku “Managing Quality”, Garvin (dalam Bounds, et. al., 1994, pp. 46-84; Loverlock, 199, pp. 101-107, dalam Fandy Tjiptono, dkk. 2001) mengungkapkan bahwa kualitas sebagai suatu konsep sudah lama dikenal, tetapi kemunculannya sebagai fungsi manajemen baru terjadi akhir-akhir ini. Ia membagi pendekatan modern  terhadap kualitas ke dalam empat era kualitas, yaitu inspeksi, pengendalian kualitas statistical, jaminan kualitas, dan manajemen kualitas strategic.
1)     Inspeksi. Pendekatan ini dimulai pada permulaan abad ke-19, dan lebih menekankan kepada pengendalian kualitas mencakup beberapa model yang seragam dari suatu produk untuk mengukur kinerja sesungguhnya.
2)     Pengendalian Kualitas Statistikal. Pendekatan ini lebih menekankan kepada pendekatan ilmiah yaitu pada tahun 1931 dimana pada tahun ini dipublikasikannya hasil karya W.A. Shewhart, seorang peneliti kualitas dari Bell Telephone Laboratories. Ia menyatakan bahwa variabilitas merupakan suatu kenyataan dalam industri dan hal ini dapat dipahami dengan menggunakan prinsip probabilitas dan statistic.
3)     Jaminan Kualitas. Dalam era ini terdapat pengembangan empat konsep baru yang penting, yaitu biaya kualitas, maksudnya adalah seberapa besar kualitas dirasa cukup?, pengendalian kualitas terpadu (total quality control), yaitu biaya yang tidak dapat dihindari yang dirancang untuk mencegah terjadinya kerusakan (defect),  reliability engineering mucul ketika angkatan bersenjata Amerika membutuhkan alat elektronik dan senjata udara yang dapat diandalkan, sedangkan zero defects timbul karena kebutuhan pelanggan militer akan produk yang tidak hanya bekerja baik saat pertama kali, tetapi juga diserahkan tepat waktu. Konsep ini dimunculkan pertama kali pada tahun 1961-1962. Konsep ini juga lebih dipusatkan pada harapan manajemen dan hubungan antar pribadi dari pada keterampilan rekayasa. Tujuan utamanya adalah mengharapkan kesempurnaan pada saat pertama dan fokusnya pada identifikasi masalah pada sumbernya dengan perhatian khusus untuk mengoreksi penyebab umum kesalahan karyawan seperti:
a)      Kurangnya pengetahuan
b)      Kurangnya fasilitas yang tepat
c)      Kurangnya perhatian, kesadaran dan motivasi karyawan.
Jadi menurut konsep zero defect ini kesalahan yang disebabkan oleh kurangnya mengetahuan dapat diatasi dengan menggunakan teknik-teknik pelatihan modern.
4)     Manajemen Kualitas Strategis. Pendekatan ini menekankan kepada tiga hal yaitu:
a)      Pengalaman Perusahaan-perusahaan Jepang.  Gerakan ini pertama kali diajarkan oleh W. Edwards Deming. Dia mengajarkan pentingnya pendekatan yang tepat, sistematik, serta pendekatan dengan dasar statistic untuk memecahkan masalah kualitas. Di samping dia memisahkan antara penyebab khusus dan penyebab umum, dia juga mendorong adopsi pendekatan sistematis dalam pemecahan masalah, yaitu siklus Deming yang terdiri atas Plan, Do, Check, Action. Dia juga memperkenalkan metode modern dalam riset pelanggan kepada para manajer Jepang. Selanjutnya di Jepang berkembang menjadi Gugus Kendali Mutu (1962), Companywide Quality Control (1968), dan Quality Function  Deployment (1972).
b)      Pengalaman Perusahaan-perusahaan Amerika dan Eropa. Menjelasng awal 1980-an perusahaan Amerika dan Eropa mulai menyadari bahwa peranan strategis kualitas yang telah diadopsi Jepang selama lebih dari satu decade sebelumnya mampu bersaing di pasaran terutama manufaktur yang memiliki keunggulan dalam kualitas dan kehandalan.
Dalam perjalannya, keempat pendekatan dalam kualitas yang dikemukan oleh Garvin ini mendapat sambutan yang luar biasa. Akan tetapi tidak puas dengan keempat pendekatan itu, Christoper Lovelock menambahkan era kelima, yaitu obsesi kualitas menyeluruh (total quality obsession) yang muncul pada bulan Agustus tahun 1987 dimana Kongres Amerika memberikan penghargaan Malcolm Baldrige National Quality Award kepada masing-masing dua perusahaan pada setiap kategori: manufactur, jasa, dan usaha kecil.
Hal yang mendasari era kelima ini adalah konsep kualitas absolute dari zero defect, yang juga disebut kualitas menyeluruh (total quality). Jalan satu-satunya untuk mencapai keabsolutan tersebut adalah total quality control yang didorong oleh total quality management (TQM).

Di samping itu, ada 5 sumber kualitas yang biasa dijumpai, yaitu:
1)     Program, kebijakan, dan sikap yang melibatkan komitmen dari manajemen puncak.
2)     Sistem informasi yang menekankan ketepatan, baik pada waktu maupun detail.
3)     Desain produk yang menekankan keandalan dan perjanjian ekstensif produk sebelum dilepas ke pasar.
4)     Kebijakan produksi dan tenaga kerja yang menekankan peralatan yang terpelihara baik, pekerja yang terlatih baik, dan penemuan penyimpangan secara tepat.
5)     Manajemen cendor yang menekankan kualitas sebagai sasaran utama.

2.     Definisi Kualitas dan Pandangan terhadap Biaya Kualitas

Meskipun tidak ada definisi mengenai kualitas yang diterima secara universal, dari definisi-definisi yang ada terdapat beberapa kesamaan, yaitu dalam elemen-elemen sebagai berikut:
a).    Kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.
b).    Kualitas mencakup produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan.
c).    Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya apa yang dianggap merupakan kualitas saat ini mungkin dianggap kurang berkualitas pada masa mendatang). (Fandy Tjiptono, dkk., 2001).
Berdasakan elemen-elemen tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa: Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Sedangkan TQM adalah merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus-menerus atas produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungannya). (Fandy Tjiptono, dkk., 2001).
Sedangkan biaya kualitas adalah biaya yang terjadi atau mungkin akan terjadi karena kualitas yang buruk. Jadi, biaya kualitas adalah biaya yang berhubungan dengan penciptaan, pengidentifikasian, perbaikan, dan pencegahan kerusakan. Biaya kualitas dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan yaitu:
1)     Biaya pencegahan (prevention cost).
2)     Biaya dteksi / penilaian (detection / appraisal cost)
3)     Biaya kegagalan internal (internal failure cost)
4)     Biaya kegagalan eksternal.


1) Biaya Pencegahan
Biaya ini merupakan biaya yang terjadi untuk mencegah kerusakan produk yang dihasilkan. Biaya ini meliputi biaya yang berhbungan dengan perancangan , pelaksanaan, dan pemeliharaan system kualitas.
Ada beberapa macam biaya yang termasuk dalam kelompok biaya pencegahan, yaitu:
a)      Teknik dan Perencanaan Kualitas.
Biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan patokan rencana kualitas produk yang dihasilkan, rencana tentang kehandalan, rencana pemeriksaan, system data, dan rncana khusus dari jaminan kualitas.
b)      Tinjauan Produk Baru.
Biaya yang dikeluarkan untuk penyiapan usulan tawaran, penilaian rancangan baru dari segi kualitas, penyiapan program percobaan dan pengujian untuk menilai penampilan produk baru dan aktivitas-aktivitas kualitas lainnya selama tahap pengembangan dan pra produksi dari rancangan produk baru.

c)      Rancangan Proses atau Produk.
Biaya yang dikeluarkan pada waktu perancangan produk atau pemilihan proses produks yang dimaksudkan untuk meningkatkan keseluruhan kualitas produk tersebut.
d)     Pengendalain Proses
Biaya yang dikeluarkan untuk teknik pengendalian proses, seperti grafik pengendalian yang memantau proses pembuatan dalam usaha mencapai kualitas produksi yang dkehendaki.


e)      Pelatihan
Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pengembangan, penyiapan, pelaksanaan, penyelenggaraan, dan pemeliharaan program latihan formal masalah kualitas.
f)       Audit kualitas
Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan terhadap rencana kualitas keseluruhan.

2) Biaya Deteksi/Penilaian
Biaya deteksi adalah biaya yang terjadi untuk menentukan apakah produk dan jasa sesuai dengan persyaratan-peersyaratan yang kualitas. Tujuan utama fungsi deteksi ini adalah untuk menghindari terjadinya kesalahan dan kerusakan sepanjang proses perusahaan, misalnya mencegah pengiriman barang-barang yang tidak sesuai dengan persyaratan kepada para pelanggan.
Yang termasuk dalam jenis kualitas ini antara lain adalah biaya:
a)      Pemeriksaan dan pengujian bahan baku yang dibeli dengan kualifikasi yang tercantum dalam pesanan.
b)      Pemeriksaan dan pengujian produk sesuai standar perusahaan, termasuk meneliti pengepakan dan pengiriman.
c)      Pemeriksaan kualitas produk baik produk dalam proses maupun produk jadi.
d)     Evaluasi persediaan, yaitu biaya untuk menguji produk di gudang, dengan tujuan untuk mendeteksi terjadinya penurunan kualita produk.

3) Biaya Kegagalan Internal
            Biaya kegagalan internal adalah biaya yang terjadi karena ada ketidaksesuaian dengan persyaratan dan terdeteksi  sebelum barang atau jasa tersebut dikirimkan ke pihak luar (pelanggan).
Biaya kegagalan internal terdiri atas beberapa jenis biaya, yaitu:
a)      Sisa bahan (Scrap).
Biaya ini adalah biaya yang ditimbulkan karena adanya sisa bahan baku yang tidak terpakai dalam upaya untuk memenuhi tingkat kualitas yang dikehendaki.


b)      Pengerjaan ulang. Biaya ini dilakukan untuk memenuhi standar kualitas yang disyaratkan.
c)      Biaya untuk memperoleh material (bahan baku). Biaya yang dikeluarkan karena adanya penolakan (rejects) dan pengaduan (complaints) terhadap bahan baku yang dibeli.
d)     Factory contact engineering. Biaya penilaian kelayakan terhadap hasil produksi yang menyangkut masalah kualitas.

4) Biaya Kegagalan Eksternal
            Biaya kegagalan ekternal adalah biaya yang terjadi karena produk atau jasa gagal memenuhi persyaratan yang diketahui setelah produk tersebut dikirimkan kepada para pelanggan. Biaya ini merupakan biaya yang paling membahayakan, karena dapat menyebabkan reputasi yang buruk, kehilangan pelanggan, dan penurunan pangsa pasar. Biaya ini tidak perlu terjadi bila tidak ada kerusakan.
            Biaya kegagalan ekternal terdiri atas beberapa macam biaya, diantaranya adalah:
a)      Biaya penanganan keluhan selama masa garansi, melipui reparasi, atau penukaran produk.
b)      Biaya penanganan keluhan di luar masa garansi.
c)      Pelayanan (servis) produk, yang diakibatkan oleh usaha untuk memperbaiki ketidaksempurnaan atau untuk pengujian khusus, atau untuk memperbaiki cacat yang bukan disebabkan oleh keluhan pelanggan.
d)     Product habity. Biaya yang timbul sehubungan dengan jaminan atau pertanggungjawaban atas kegagalan memenuhi standar kualitas (quality failures).
e)      Biaya penarikan kembali produk.

D. Kualitas Sebagai Alternatif Peningkatan Daya Saing dan Kepuasan         Pelanggan

Berbicara mengenai peningkatan daya saing dan kepuasan pelanggan maka yang muncul di benak kita adalah bagaimana menciptakan suatu produk yang berkualitas dan mempertahankan kepuasan para pelanggan. Dalam pendekatan TQM, kualitas ditentukan oleh pelanggan karena semua usaha manajemen dalam TQM diarahkan kepada satu tujuan utama yaitu terciptanya kepuasan pelanggan. Adanya kepuasan pelanggan dapat memberikan beberapa manfaat, diantaranya (Fandy Tjiptono, 1994., p. 9).
1.      Hubungan antara perusahaan dan para pelanggannya menjadi harmonis.
2.      Memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang
3.      Dapat mendorong terciptanya loyalitas pelanggan
4.      Membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke mulut (word-of-mouth) yang menguntungkan bagi perusahaan.
5.      Reputasi perusahaan menjadi baik di mata pelanggan.
6.      Laba yang diperoleh dapat meningkat.
Dari pendapat beberapa ahli seperti Day dalam Tse dan Wilton, 1988, Wilkie, 1990, Engel et.al. 1990, dan Kolter, 1994 tentang kepuasan pelanggan maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pengertian kepuasan pelanggan mencakup perbedaan antara harapan dan kinerja atau hasil yang dirasakan.
Ada beberapa unsure kualitas yang ditetapkan pelanggan, yaitu:
1.      Pelanggan haruslah merupakan prioritas utama organisasi, karena kelangsungan hidup organisasi tergantung pada pelanggan.
2.      Pelanggan yang dapat diandalkan merupakan pelanggan yang paling penting. Pelanggan yang dapat diandalkan adalah pelanggan yang melakukan pembelian berulang kali.
3.      Kepuasan pelanggan dijamin dengan menghasilkan produk berkualitas tinggi. Kepuasan berimplikasi pada perbaikan terus-menerus sehingga kualitas harus diperbaharui setiap saat agar pelanggan tetap puas dan loyal.
Dalam TQM kepuasan pelanggan merupakan prioritas paling utama (bersifat outward-looking), tidak seperti manajemen tradisional yang menerapkan manajemen berdasarkan hasil (bersifat inward-looking).
Jadi kunci untuk membentuk focus pada pelanggan adalah menempatkan para karyawan yang pandai berhubungan dengan pelanggan dan memberdayakan mereka untuk mengambil tindakan yang diperlukan dalam rangka memuaskan para pelanggan. 
Sementara itu pengukuran terhadap keberhasilan para pelanggan menjadi hal yang sangat esensial bagi setiap perusahaan atau organisasi TQM. Beberapa metode dalam pengukuran kepuasan pelanggan adalah sebagai berikut (Kolter, 1994, pp. 41-43):
1.      Sistem keluhan dan saran. Sistem ini dapat dilakukan dengan menyediakan kotak saran, kartu komentar, customer hot-lines, dan lain-lain. Informasi ini sangat berguna bagi perusahaan untuk menemukan ide-ide cemerlang sehingga memungkinkan untuk bereaksi secara tanggap dan cepat untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul.
2.      Ghost Shopping. Dalam hal ini perusahaan dapat mempekerjaan beberapa orang untuk bertindak sebagai pelanggan. Hal ini penting untuk menemukan kelemahan produk di pasaran.
3.      Lost customer analysis. Sedapat mungkin pihak perusahaan menghubungi para pelanggan yang berhenti dengan tujuan untuk mengetahui mengapa mereka pindah.
4.      Survai kepuasan pelanggan. Maksudnya untuk memperoleh umpam balik secara langsung dari pelanggan.

1. Kualitas, Profitabilitas, dan Daya Saing

Sebagaimana yang sudah disepakati dalam kerangka AFTA, APEC, dan WTO, setiap perusahaan harus menghadapi persaingan ketat dengan perusahan-perusahaan di seluruh dunia, lebih-lebih pada zama globalisasi sekarang ini. Konsumen yang merupakan “pembeli adalah raja” selalu ingin mendapatkan kepuasan dari perusahaan, hal inilah yang mendorong suatu perusahaan untuk memenuhi apa yang mereka harapkan dengan cara yang lebih memuaskan sehingga perusahaan tidak hanya terbatas perhatiannya pada produk atau jasa yang dihasilkan saja, akan tetapi lebih dari perusahaan memperhatikan pula aspek sumberdaya manusia dan lingkungan.  Jadi hanya perusahaan yang benar-benar berkualitas yang dapat bersaing dalam pasar global.

           Pada prinsipnya setiap perusahaan mengahadapi lima kekuatan atau faktor persaingan seperti yang dikemukakan oleh Porter (1980-1985), yaitu pesaing dalam industri yang sama, bergaining, powe pemasok, bargaining power pembeli, ancaman pendatang baru, dan ancaman dari produk substitusi.
          Beberapa faktor penentu persaingan adalah: a) Pertumbuhan industri, b) Biaya tetap/nilai tambah, c) Kelebihan kapasitas intermiten, d) Diferensiasi produk, e) Identitas merek, f) Biaya beralih pemasok, g) Konsentrasi dan keseimbangan, h) Kompleksitas informasi, i) Ragam pesaing, j) Corporate stakes, h) Hambatan keluar.

 

    2. Komponen-komponen penunjang Daya Saing

         Adapun komponen penunjang daya saing sangat dipengaruhi oleh kondisi makro, seperti sistem politik, sosial, ekonomi, hankam, dan lain-lain.  Umumnya kekuatan ekonomi suatu negara juga dipengaruhi daya saing dan kekuatan perusahaan-perusahaan  yang ada di negara tersebut.
         Dalam konteks suatu negara, indikator status daya saing yang sering digunakan adalah:
1.      Standar hidup, biasanya berupa Gross National Product (GNP) per kapita.
2.      Investasi, yaitu persentase GNP yang ditanamkan dalam sektor pendidikan, peralatan, fasilitas, dan riset pengembangan.
3.      Produktivitas pemanufakturan, yaitu jumlah output yang dihasilkan oleh setiap karyawan sektor manufaktur
4.      Perdagangan, yaitu pertumbuhan ekspor dan surplus perdagangan.
  Sedangkan komponen dasar yang bermanfaat dalam mendukung peningkatan daya saing, yaitu kebijakan industri, teknologi, dan sumber daya manusia.

E. Peningkatan Mutu Pendidikan

            Sampai saat ini, dunia pendidikan masih jauh tertinggal dibanding dengan negara-negara berkembang lainnya, hasil ujian akhir yang masih selalu rendah sehingga ada rasa kepesimisan masyarakat luas terhadap sekolah. Namun saat ini bangsa kita sudah mulai menyadari berbagai kelemahan masa lalu yang tentunya tidak perlu diulang lagi terlebih lagi di masa desentralisasi saat ini, segala permasalahan pendidikan hampir semuanya ditangani bersama-sama antara pihak instansi terkait dengan masyarakat/orang tua.
            Abad ke-21 merupakan momentum yang penuh tantangan bagi negara sedang berkembang seperti Indonesia. Kita perlu mencari model baru manajemen pendidikan untuk meningkatkan mutu lulusan sekolah. Tak ada salahnya jika kita mempelajari usaha-usaha di bidang pendidikan dalam beberapa dekade terakhir abad XX di negara maju, seperti Amerika, Jepang, dan Inggris. Negara tersebut kita itu perlu menerapkan TQM dalam bidang pendidikan.(Syafaruddin, 2002).
            Berpijak dari uraian di atas, kepala sekolah dituntut lebih represif dalam menanggapi berbagai hal yang terjadi di sekolahnya. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari kegagalan akaibat menajemen yang lemah, lebih-lebih di masa otonomi saat ini.
            Pemberlakuan otonomi daerah di bawah payung Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, menuntut para manajer atau pengelola lembaga pendididkan, khususnyan rektor dan kepala sekolah, untuk mengadopsi manajemen mutu lulusan institusi yang dipimpinnya. Aplikasi paradigma baru manajemen pendidikan terbuka luas dengan adanya otonomi sekolah atau otonomi perguruan tinggi. (Syafaruddin, 2002).
            Untuk lebih jelasnya diperlukan beberapa strategi untuk mengimplementasikan manajemen mutu pendidikan dan menciptakan sekolah yang efektif dengan manajemen mutu. Adapun strategi tersebut sebagai berikut:
1.      Strategi Implementasi Manajemen Mutu Pendidikan
  TQM yang pada awalnya hanya merupakan pemikiran modern yang diaplikasikan dalam dunia industri dan bisnis, tetapi dalam perkembangannya TQM dapat diadopsi untuk dunia pendidikan. Untuk mencapai kepuasan customer pendidikan, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah mengembangkan manajemen yang kuat, menyempurnakan mutu pendidikan, tujuan pendidikan harus jelas arahnya, biaya dikelola se transparan mungkin, pengembangan kurikulum harus disesuaikan dengan kondisi suatu daerah dengan tetap mengacu kepada aturan yang ditetapkan oleh pusat.
  Jadi agar semua yang dikemukan di atas dapat terlaksana dengan baik maka perlu menerapkan TQM dalam dunia pendidikan, menurut Joseph C. Field, 1993:13 dalam Syafaruddin, 2001,  ada sepuluh langkah yang harus dilalui, yaitu:
1)      mempelajari dan memahami manajemen mutu terpadu secara menyeluruh
2)      memahami dan mengadopsi jiwa dan filosofi untuk perbaikan terus-menerus
3)      menilai jaminan mutu saat ini dan program pengendalian mutu
4)      membangun sistem mutu terpadu (kebijakan mutu, rencana strategis mutu, implementasi rencana, rencana pelatihan, organisasi dan struktur, prosedur bagi tindakan perbaikan, pendefinsian terhadap nilai tambah tindakan)
5)      mempersiapkan orang-orang untuk perubahan, menilai budaya mutu sebagai tujuan untuk mempersiapkan perbaikan, melatih orang-orang untuk bekerja pada suatu kelompok kerja
6)      mempelajari teknik untuk menyerang atau mengatasi akan persoalan (penyebab) dan mengaplikasikan tindakan koreksi dengan menggunakan teknik dan alat manajemen mutu terpadu.
7)      memilih dan menetapkan pilot project untuk diaplikasikan
8)      tetapkan prosedur tindakan perbaikan dan sadari akan keberhasilannya
9)      menciptakan komitmen dan strategi yang benar mutu terpadu oleh pemimpin yang akan menggunakannya, dan
10)  memelihara jiwa mutu terpadu dalam penyelidikan dan aplikasi pengetahuan yang amat luas.
    Jadi untuk dapat melaksanakan pendidikan mutu terpadu tentunya harus ada komitmen yang tinggi dari pihak instansi terkait bersama-sama dengan masyarakat.

2.      Menciptakan Sekolah efektif dengan Manajemen Mutu
        Setiap orang memiliki hak dan komitmen untuk mencapai kepuasan, untuk itu para pengelola pendidikan dituntut memberikan pelayanan kepada para pelanggan pendidikan. Untuk dapat mencapai status sekolah yang efektif, pembenahan sekolah terutama yang berkaitan implementasi peningkatan mutu harus dilakukan baik kepada masyarakat umum, maupun kepada para pelanggan pendidikan dengan tetap berpedoman kepada manajemen mutu terpadu.
      Namun demikian pelaksanaan TQM tidak semudah yang dibayangkan karena menurut Schargel (1994), ada 11 tantangan yang mungkin dihadapi dalam mengadopsi TQM terhadap pendidikan, yaitu:
1)      sekolah-sekolah tidak mengawasi sendiri sumberdayanya.
2)      Pendidikan tidak didasarkan pada nilai atau kepentingan diri pelanggan dalam.
3)      Sekolah tidak mengendalikan sepenuhnya keadaan yang mempengaruhi lingkungan pendidikan
4)      Adanya pengurangan dalam pembiayaan pendidikan
5)      Tujuan sekolah tidak ditentukan di dalam sekolah
6)      Masyarakat kurang menghargai pendidikan
7)      Guru-guru dan sekolah kurang responsif terhadap perubahan.
8)      Sekolah terlalu lama mengalami kebekuan pemikiran
9)      Pelatihan guru dilakukan di luar sekolah
10)  Pelanggan sangat banyak setiap pergantian tahun
11)  Mengabaikan misi.
   Walaupun tantangan penerapan TQM ini cukup banyak, akan tetapi kesebelas faktor tersebut kemungkinan akan dipengaruhi oleh kemajuan sosial ekonomi, politik, sains dan teknologi suatu negara. Jadi dalam penerapannya tidak usaha pesimis karana untuk menjadikan suatu organisasi yang efektif dan berhasil diperlukan suatu strategi yang jelas dan mantap terutama dalam menghadapi persaingan.

F.    Menetapkan Total Quality pada Pendidikan Tinggi dalam Proses Belajar

            Sumbangsih pendidikan tinggi di tanah air sudah tidak diragukan, perguruan tinggi telah melahirkan banyak sekali sumberdaya manusia yang siap bersaing pada lapangan kerja. Perguruan-perguruan tinggi tertua seperti UI, UGM, dan lain-lain yang menjadi sumber inspirasi perguruan tinggi-perguruan tinggi lain di Indonesia.
            Sebagaimana organisasi industri, pendidikan tinggi juga memiliki “customer”, yaitu pemakai hasil didik. Adapun “customer” tersebut merupakan “internal customers”, yaitu pelaku-pelaku dalam rangkaian proses produksi, dan “eksternal customer”, yaitu pemakai akhir hasil proses produksi.
            Dalam proses pendidikan itu selalu terjadi dialogi dan perdebatan antara “apa yang diberikan kepaa siswa” dengan “apa yang dikehendaki oleh “customer”. Dalam hubungan ini oleh Akao (1990) telah dikembangkan suatu teknik TQM yang disebut “Quality Function Deployment (QFD)” guna memperoleh pengertian yang lengkap tentang apa yang dikehendaki oleh “customer”, untuk kemudian diterjemahkan ke dalam rencana pendidikan.
            Mungkin TQM dapat diterapkan di pendidikan tinggi dalam perbagai kegiatan sebagai berikut:
1.      Pendidikan tinggi dapat melaksanakan penelitian dalam TQM
2.      Pendidikan tinggi dapat mengajarkan asas-asas TQM
3.      Pendidikan tinggi dapat menerapkan TQM untuk memperbaiki kualitas administrasinya
4.      Pendidikan tinggi dapat menerapkan TQM untuk memperbaiki kualitas pengajaran di kelas.
            Dalam hal ini siswa dipandang sebagai penerima informasi yang pasif dan mempunyai karakteristik yang tidak berubah. Anderson menyebut pandangan ini sebagai pendekatan “receptive-actual”. Sebagai tampak pada gambar berikut. Apa yang terjadi di dalam fihak siswa tidak begitu diperhatikan sehingga merupakan “black box”.




Kondisi sebelumnya
Tata-laku
Konsekuensi
Siswa















Informasi, pengetahuan dari pengajar
 






 



3.      

 


           

Dalam pandangan “receptive-accrual” tersebut yang penting adalah pengaturan pengajar mengenai materi yang diberikan kepada siswa, dan pengaturan tentang konsekuensi untuk membentuk tata-laku siswa yang diinginkan. Dengan demikian, kuliah atau ceramah sebagai satu-satunya methoda pengajaran yang digunakan merupakan perwujudan pandangan “receptive-accrual”; dalam hal ini pengajar meneruskan informasi kepada siswa yang kemudian menyimpan informasi tersebut dan menyatakan kembali tanpa modifikasi.

            Dengan perkembangan “cognitive psychology” dan dominannya ilmu kognitif terhadap proses belajar, maka terjadilah perubahan model yang memusatkan perhatian pada apa yang terjadi di dalam fihak siswa. Dewasa ini dapat kita amati bahwa siswa melakukan kegiatan pemrosesan informasi yang kompleks. Inilah yang mendorong Anderson mengembangkan pandangan “cognitive-mediational”. Pandangan ini mengakui bahwa tujuan untuk memahami dan mengingat informasi yang diterima menuntut fihak siswa untuk melakukan kegiatan yang konstruktif dan bertujuan yang jelas. Dengan demikian, pengajaran yang baik merupakan masalah untuk memudahkan kegiatan kognitif yang baik dan membantuk siswa guna mengembangkan cara untuk memanaje proses belajarnya.
            Setelah meninjau kedua pandangan tersebut di muka, kiranya lebih baik para pengajar menerapkan pandangan “cognitive-mediational” dari pada pandangan konvesional “receptive-accrual”. Pendapat tersebut dikemukakan berdasarkan pertimbangan” 1) model kognitif proses belajar membantu para pengajar mengenai apa yang harus dikerjakan untuk mendorong siswa melakukan kegiatan kognitif daripada hanya menyampaikan informasi kepada siswa; hal ini adalah penting karena dapat membantu pengajar untuk memusatkan perhatian pada variabel-variabel yang mempengaruhi proses belajar; 2) setelah dapat mengendalikan variabel-variabel tersebut, maka agar siswa memperoleh karakteristik koginitif dapat dilaksanakan melalui pengajaran.

1.     Perlunya Struktur Pengetahuan

Dalam pandangan proses belajar “cognitive-mediational”, konsep struktur pengetahuan merupakan konsep yang mendasar. Dalam penelitian tentang proses belajr mengajar dewasa ini tidak ada variabel yang berpengaruh besar daripada apa yang siswa sudah mengetahuinya. Perlu kiranya kita sadari bahwa apa yang sudah siswa ketahui adalah lebih penting daripada sekedar akumulasi informasi yang berasal dari pengajar dan pengalaman sehari-hari. Kecenderungan siswa untuk membangun jaringan informasi yang diterimanya digambarkan oleh struktur pengetahuan. Apabila kita mengatakan bahwa proses belajar terjadi apabila siswa menangani informasi yang masuk, hal ini berarti bahwa siswa mengaitkan informasi yang masuk tersebut dengan struktur pengetahuan yang berfungsi sebagai tabir atau saringan terhadap informasi yang masuk tersebut. Proses ini dapat divisualisasikan dalam gambar berikut sebagai suatu model proses informasi.








 



fakta
 
Input
informasi




















Mendapatkan informasi
kembali
 


Struktur
Pengetahuan
Sebagai saringan
 

 









Dengan fungsinya tersebut tampaknya konsep struktur pengetahuan itu serupa dengan paradigma.  Tanpa paradigma seseorang akan mengalami beban yang terlalu berat dan tidak dapat memilih serta memproses informasi yang masuk akal.
            Analog dengan hal tersebut di atas, siswa yang menerima informasi baru yang tidak sesuai dengan struktur pengetahuannya, akan mengalami kesukaran memproses informasi tersebut dan menghayatinya, kecuali siswa tersebut dapat merubah struktur pengetahuannya.
            Dalam pandangan “cognitive-mediational”, adalah menjadi tanggung jawab pengajar untuk mengaktifkan proses kognitif siswa agar dapat memproses informasi yang diterimanya.

2.      Kaitan antara Teori Belajar dengan TQM

            Menurut Deming (1986), dalam konteks TQM di dalam organisasi, variasi “performance” sistem kerja perlu dibuat sekecil mungkin. Selanjutnya menurut Peter Senge (1990), “learning organization”  perlu memanaje seluruh sistem dengan memberdayakan setiap orang untuk berkembang dan memperbaiki pekerjaannya secara kontinu.
            Tanpa meninjau secara detail seluk-beluk TQM, dapat dikatakan bahwa pandangan modern tentang proses belajar tampaknya  memberikan piranti kepada pengajar dan siswa untuk bekerja sama guna mengoptimisasikan proses belajar-mengajar.
            Konsep utama TQM adalah kegiatan menuju perbaikan secara kontinu. Teori  proses belajar yang telah ditinjau di muka dapat merupakan sarana operasional untuk menuju perbaikan proses belajar-mengajar secara kontinu. Adapun yang diperlukan dalam hal ini adalah pembahasan bersama tentang proses belajar dan proses mengajar. Kiranya gerakan TQM dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Deming menyatakan bahwa segala kegiatan tersebut harus dilaksanakan secara sistemik. Untuk melaksanakan kegiatan secara sistemik tersebut tiga hal harus dimanaj: 1) resiko untuk tidak melakukan perubahan harus dipersepsi lebih besar daripada resiko melakukan perubahan; 2) perlu dirumuskan “vision yang jelas mengenai sistem yang lebih baik; 3) perlu rencana strategik dan rencana tindak yang jelas untuk mewujudkan “vision” tersebut. (Soewarsono Hardjosoedarmo,  2002).
            Proses perubahan tersebut harus terjadi pada tingkat lembaga pendidikan dan pada tingkat individual, yaitu poengajar. Apabila pengajar secara individual menyesuaikan metoda mengajarnya berdasarkan teori proses belajar tersebut di muka, sedang sistem lembaga pendidikan tidak melakukan perubahan, maka TQM tidak merupakan cara terbaik dalam lembaga pendidikan. Sebaliknya, apabila sistem telah melakukan perubahan untuk mendukung apa yang terjadi di ruang kelas, sedangkan pengajar tidak merubah metoda mengajarnya, maka siswa tidak dipersiapkan untuk menjadi hasil didik yang baik. Jadi masih banyak hal yang harus dikerjakan agar “vision  TQM menjadi kenyataan. Apabila tranformasi dapat dimulai secara simultan pada tingkat “pucak” dengan kepemimpinan untuk melakukan perubahan terhadap sistem, dan pada tingkat “dasar” dengan pengajar bekerja untuk memperbaiki kualitas pengajaran dengan menggunakan teori belajar modern, maka perbaikan dalam pendidikan tinggi akan berlangsung cepat.

Kesimpulan

            Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1.      TQM tidak hanya dapat digunakan untuk perusahaan bisnis atau industri saja akan tetapi sangat cocok juga digunakan pada lembaga pendidikan.
2.      Dalam sejarah mendirinya TQM mempunyai sejarah yang begitu panjang yaitu lahir pada tahun 1920an dan berkembang di Amerika sekitar tahun 1950an.
3.      Dalam menjual hasil produksi, yang paling penting diperhatikan adalah kualitas barang tersebut, karena konsumen tidak hanya melihat murah harga barang tersebut akan tetapi yang paling dipentingkan adalah kualitas dari barang yang akan dibeli.
4.      Mutu pendidikan di Indonesia termasuk masih rendah dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, akan tetapi dengan penerapan TQM, diharapkan perkembangan mutu pendidikan di Indonesia akan semakin maju.
5.      Pendidikan tinggi di Indonesia dapat menerapkan TQM, tidak hanya kepada mahasiswa akan tetapi dalam memperbaiki kualitas administrasinya.

Daftar Pustaka


Hardjosoedarmo, Soewarso, 2002. Total Quality Management, Edisi Revisi, Andi, Yogyakarta.

Sallis, Edward, 1993. Total Quality Management, Kogen Page Limited, London.

Syafaruddin, 2002. Manajemen Mutu Terpadu, Grasindo, Jakarta.

Taylor, A.W. & Hill, F.M. (1993), “Issues for Implementing TQM in Further and Higher Education: The Moderating Influence of Contextual Variables”, Quality Assurance in Education, Vol. 1, No. 2, pp. 12-21.

Tjiptono, Fandy, dkk., 2000. Perspektif Manajemen dan Pemasaran Kontemporer,  Andi, Yogyakarta.

Tjiptono, Fandy, dkk., 2001. Total Quality Management, Edisi Revisi, Andi, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar