1. Konsep TQM (Total Quality Management)
1). Sejarah Singkat Perkembangan TQM
Dalam sejarahnya, TQM mengalami evolusi yang begitu unik,
mengapa dikatakan unik? Karena gerakannya dimulai dari masa studi waktu dan
gerak oleh Bapak Manajemen Ilmiah Frederik Taylor pada tahun 1920-an.
Gerakan-gerakan seperti itu terus berkembang sampai puncaknya dimana TQM
diajarkan di universitas-universitas di Amerika mulai pada tahun 1950-an.
Selanjutnya aspek yang paling mendasar dari manajemen ilmiah
adalah adanya pemisahan antara perencanaan dan pelaksanaan. Meskipun
pembagian tugas tersebut telah mendapatkan peningkatan besar dalam hal
produktivitas, sebenarnya konsep pembagian tugas tersebut telah menyisihkan
konsep lama mengenai keahlian/keterampilan, dimana individu yang sangat
terampil melakukan semua pekerjaan yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk
yang berkualitas. Manajemen ilmiah
Taylor mengatasi hal ini dengan membuat perencanaan tugas manajemen dan tugas
tenaga kerja. Untuk mempertahakankan kualitas produk dan jasa yang dihasilkan
maka dibentuklah dipartemen kualitas yang terpisah. (Fandy Tjiptono. dkk.,
2001).
Berbicara tentang kualitas memang gampang untuk
mengucapkannya, akan tetapi dalam pelaksanaannya misalnya pada industri
manufactur, kualitas akan barang menjadi hal yang semakin sulit. Saking sulit dan kompleknya mendorong
timbulnya quality engineering pada tahun 1920-an dan reliability
engineering pada tahun 1950-an. Selanjutnya QE tersebutlah yang mendorong
timbulnya penggunaan metode-metode statistic dalam pengendalian kualitas, yang
akhirnya mengarah kepada konsep control charts dan statistical
process control. Kedua konsep inilah yang merupakan aspek
mendasar dari TQM.
Kemudian perkembangan TQM yang dimulai pada tahun 1920-an
tersebut terus merambah ke berbagai
negara. “Dalam perkembangannya, TQM sangat dipengaruhi oleh
perkembangan-perkembangan di Jepang, namun tidaklah dapat dikatakan bahwa TQM merupakan
buatan Jepang, karena banyak aspek TQM yang berasal dari Amerika”. (Schmidt dan
Finnigan. 1992, dalam Bounds, et. al. , 1994, p.61. , dalam Fandy Tjiptono.
dkk., 2001) diantaranya:
a).
Manajemen ilmiah, yaitu berupaya menemukan satu cara
terbaik dalam melakukan suatu pekerjaan.
b).
Dinamika kelompok, mengupayakan dan mengorganisasikan
kekuatan pengalaman kelompok.
c).
Pelatihan dan pengembangan yang merupakan investasi
dalam sumberdaya manusia.
d).
Motivasi berprestasi
e).
Keterlibatan karyawan
f).
Sistem sosioteknikal, dimana organisasi beroperasi
sebagai system yang terbuka.
g).
Pengembangan organisasi
h).
Budaya organisasi, yaitu menyangkut keyakinan, mitos
dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku setiap orang dalam organisasi.
i).
Teori kepemimpinan baru, yakni menginspirasikan dan
membedayakan orang lain untuk bertindak.
j).
Konsep linking-pin dalam organisasi, yaitu
membentuk tim fungsional silang.
k).
Perencanaan strategis.
2). Definisi TQM
Dalam
perjalanannya yang begitu panjang yaitu dari tahun 1920-an sampai tahun
1950-an, “pendefinisian TQM beragam sekali misalnya TQM diartikan sebagai
perpaduan semua fungsi dari perusahaan ke dalam falsafah holistic yang dibangun
berdasarkan konsep kualitas, teamwork, produktivitas, dan pengertian seerta
kepuasan pelanggan”. (Ishikawa dalam Pwitra, 1993, p. 135, dalam Fandy
Tjiptono, dkk., 2001).
Untuk
menghindari pendefinisian yang beragam tersebutlah, berikut ini pengertian TQM
dibedakan dalam 2 aspek. Aspek pertama mengungkapkan tentang apakah TQM itu,
dan aspek kedua membahas tentang bagaimana mencapainya. Jadi, TQM merupakan
suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya
saing organisasi melalui pendekatan terus-menerus atas produk, jasa, manusia,
proses, dan lingkungannya.
3). Landasan dan Akar TQM
Landasan TQM
adalah statistical proses control (SPC) yang merupakan model manajemen
manufaktur, yang pertama-tama diperkenalkan oleh Edwards Deming dan Joseph
Juran sesudah PD II guna membantu bangsa Jepang membangun kembali infrastruktur
negaranya. Ajarang Deming dan Juran itu berkembang terus hingga kemudian dinamakan
TQM oleh US Navy pada tahun 1985. Selanjutnya TQM terus mengalami evolusi,
menjadi semakin matang dan mengalami deversifikasi untuk aplikasi di bidang
manufaktur, industri jasa, kesehatan dan dewasa ini juga di bidang pendidikan.
(Soewarso H., 2002).
Mengikuti ajaran
Deming, Juran dan Philip Crosby dalam menerapkan TQM memang perlu, akan tetapi
belumlah cukup, hal ini disebabkan karena TQM terus mengalami perubahan,
maksudnya dalam menghayati state-of-the art TQM tidak cukup hanya dengan
memahami TQM saja, akan tetapi lebih dari itu, diperlukan kontribusi bidang
manajemen dan organizational effectiveness dalam membangun TQM sebagai dimensi
yang lain. Dimensi tersebutlah yang kemudian dapat disebut sebagai akar TQM.
Hasil evolusi
TQM yang terdiri dari group dynamics, organization development (OD),
Sociotechnical systems tersebutlah yang kemudian dikembangkan di Jepang pada
tahun 1950-an, dan selanjutnya dikembangkan di Amerika pertama kali tahun
1980-an. Bila dilihat dari perkembangannya maka penerapan TQM dalam berbagai
bidang membutuhkan kerangka sendiri dalam manajemen kualitas.
4). Perbedaan TQM dengan Manajemen Lainnya
TQM yang kenal saat ini berbeda alur dan asalnya dengan
inovasi manajemen dan organisasi yang lain yang tumbuh setelah periode Perang
Dunia ke-II, seperti management by objectives (MBO), time-based management, dan
strategic management of core competences.
Ada 4 perbedaan pokok antara TQM dengan metode manajemen
lainnya bila ditinjau dari asal muasal dan alur pendiriannya:
a).
Asal intelektualnya. Sebagian besar teori
dan teknik manajemen berasal dari ilmu-ilmu sosial. Ilmu ekonomi mikro
merupakan dasar dari sebagian besar teknik-teknik manajemen keuangan (misalnya
analisis discounted cash flow, dan penilaian sekuritas); ilmu psikologi
mendasar teknik pemasaran dan decision support system; dan sosiologi
memberikan dasar konseptual bagi desain organisasi. Sementara itu dasar
teoritis dari TQM adalah statistic. Inti dari TQM adalah Statistical Proses
Control (SPC) yang didasarkan pada sampling dan analisis varians.
b).
Sumber Inovasinya. Bila sebagian besar ide dan teknis
manajemen bersumber dari sekolah bisnis dan perusahaan konsultan manajemen
terkemuka, maka inovasi TQM sebagian
besar dihasilkan oleh para pionir yang pada umumnya adalah insinyur teknik
industri dan ahli fisika yang bekerja di sector industri dan pemerintah.
c).
Asal negara kelahirannya.
Kebanyakan knsep dan teknik dalam manajemen keuangan, pemasaran, manajemen
strategic, dan desain organisasi berasal dari Amerika Serikat dan kemudian tersebar
ke seluruh dunia. Sebaliknya TQM yang semula berasal dari Amerika Serikat,
kemudian lebih banyak dikembangkan di Jepang dan kemudian berkembang ke Amerika
Utara dan Eropa. Jadi TQM Mengintegrasikan keterampilan teknikal dan analisis
dari Amerika, keahlian implementasi dan pengorganisasian Jeang, serta trandisi
keahlian dan integritas dari Eropa dan Asia.
d).
Proses diseminai atau penyebaran. Penyebaran
sebagian besar manajamen modern bersifat hirarkis dan top-down. Yang
mempeloporinya biasanya adalah perusahaan-perusahaan raksasa seperti General
Electric, IBM, dan General Motors. Sedangkan gerakan perbaikan kualitas
merupakan proses bottom up, yang dipelopori perusahaan-perusahaan kecil.
Dalam implementasi TQM, pengerak utamanya tidaklah selalu CEO, tetapi
seringkali malah manajer departemen atau manajer divisi.
C. Perkembangan Pemikiran Mengenai Kualitas
1. Sejarah Singkat Mengenai Kualitas
Dalam buku “Managing Quality”, Garvin (dalam
Bounds, et. al., 1994, pp. 46-84; Loverlock, 199, pp. 101-107, dalam Fandy
Tjiptono, dkk. 2001) mengungkapkan bahwa kualitas sebagai suatu konsep sudah
lama dikenal, tetapi kemunculannya sebagai fungsi manajemen baru terjadi
akhir-akhir ini. Ia membagi pendekatan modern
terhadap kualitas ke dalam empat era kualitas, yaitu inspeksi,
pengendalian kualitas statistical, jaminan kualitas, dan manajemen kualitas
strategic.
1)
Inspeksi. Pendekatan ini dimulai pada permulaan
abad ke-19, dan lebih menekankan kepada pengendalian kualitas mencakup beberapa
model yang seragam dari suatu produk untuk mengukur kinerja sesungguhnya.
2)
Pengendalian Kualitas Statistikal.
Pendekatan ini lebih menekankan kepada pendekatan ilmiah yaitu pada tahun 1931
dimana pada tahun ini dipublikasikannya hasil karya W.A. Shewhart, seorang
peneliti kualitas dari Bell Telephone Laboratories. Ia menyatakan bahwa
variabilitas merupakan suatu kenyataan dalam industri dan hal ini dapat
dipahami dengan menggunakan prinsip probabilitas dan statistic.
3)
Jaminan Kualitas. Dalam era ini terdapat
pengembangan empat konsep baru yang penting, yaitu biaya kualitas,
maksudnya adalah seberapa besar kualitas dirasa cukup?, pengendalian kualitas
terpadu (total quality control), yaitu biaya yang tidak dapat dihindari
yang dirancang untuk mencegah terjadinya kerusakan (defect), reliability engineering mucul
ketika angkatan bersenjata Amerika membutuhkan alat elektronik dan senjata
udara yang dapat diandalkan, sedangkan zero defects timbul karena
kebutuhan pelanggan militer akan produk yang tidak hanya bekerja baik saat
pertama kali, tetapi juga diserahkan tepat waktu. Konsep ini dimunculkan
pertama kali pada tahun 1961-1962. Konsep ini juga lebih dipusatkan pada
harapan manajemen dan hubungan antar pribadi dari pada keterampilan rekayasa.
Tujuan utamanya adalah mengharapkan kesempurnaan pada saat pertama dan fokusnya
pada identifikasi masalah pada sumbernya dengan perhatian khusus untuk
mengoreksi penyebab umum kesalahan karyawan seperti:
a)
Kurangnya pengetahuan
b)
Kurangnya fasilitas yang tepat
c)
Kurangnya perhatian, kesadaran dan motivasi karyawan.
Jadi menurut konsep zero defect ini kesalahan yang
disebabkan oleh kurangnya mengetahuan dapat diatasi dengan menggunakan
teknik-teknik pelatihan modern.
4)
Manajemen Kualitas Strategis.
Pendekatan ini menekankan kepada tiga hal yaitu:
a)
Pengalaman Perusahaan-perusahaan Jepang. Gerakan ini pertama kali diajarkan oleh W.
Edwards Deming. Dia mengajarkan pentingnya pendekatan yang tepat, sistematik,
serta pendekatan dengan dasar statistic untuk memecahkan masalah kualitas. Di
samping dia memisahkan antara penyebab khusus dan penyebab umum, dia juga
mendorong adopsi pendekatan sistematis dalam pemecahan masalah, yaitu siklus
Deming yang terdiri atas Plan, Do, Check, Action. Dia juga
memperkenalkan metode modern dalam riset pelanggan kepada para manajer Jepang. Selanjutnya
di Jepang berkembang menjadi Gugus Kendali Mutu (1962), Companywide Quality
Control (1968), dan Quality Function
Deployment (1972).
b)
Pengalaman Perusahaan-perusahaan Amerika dan Eropa.
Menjelasng awal 1980-an perusahaan Amerika dan Eropa mulai menyadari bahwa
peranan strategis kualitas yang telah diadopsi Jepang selama lebih dari satu
decade sebelumnya mampu bersaing di pasaran terutama manufaktur yang memiliki
keunggulan dalam kualitas dan kehandalan.
Dalam perjalannya, keempat pendekatan dalam kualitas yang
dikemukan oleh Garvin ini mendapat sambutan yang luar biasa. Akan tetapi tidak
puas dengan keempat pendekatan itu, Christoper Lovelock menambahkan era kelima,
yaitu obsesi kualitas menyeluruh (total quality obsession)
yang muncul pada bulan Agustus tahun 1987 dimana Kongres Amerika memberikan
penghargaan Malcolm Baldrige National Quality Award kepada masing-masing dua
perusahaan pada setiap kategori: manufactur, jasa, dan usaha kecil.
Hal yang mendasari era kelima ini adalah konsep kualitas
absolute dari zero defect, yang juga disebut kualitas menyeluruh (total
quality). Jalan satu-satunya untuk mencapai keabsolutan tersebut adalah total
quality control yang didorong oleh total quality management
(TQM).
Di samping itu, ada 5
sumber kualitas yang biasa dijumpai, yaitu:
1)
Program, kebijakan, dan sikap yang melibatkan komitmen
dari manajemen puncak.
2)
Sistem informasi yang menekankan ketepatan, baik pada
waktu maupun detail.
3)
Desain produk yang menekankan keandalan dan perjanjian
ekstensif produk sebelum dilepas ke pasar.
4)
Kebijakan produksi dan tenaga kerja yang menekankan
peralatan yang terpelihara baik, pekerja yang terlatih baik, dan penemuan
penyimpangan secara tepat.
5)
Manajemen cendor yang menekankan kualitas sebagai
sasaran utama.
2. Definisi Kualitas dan Pandangan terhadap Biaya Kualitas
Meskipun
tidak ada definisi mengenai kualitas yang diterima secara universal, dari
definisi-definisi yang ada terdapat beberapa kesamaan, yaitu dalam
elemen-elemen sebagai berikut:
a).
Kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan
pelanggan.
b).
Kualitas mencakup produk, jasa, manusia, proses, dan
lingkungan.
c).
Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah
(misalnya apa yang dianggap merupakan kualitas saat ini mungkin dianggap kurang
berkualitas pada masa mendatang). (Fandy Tjiptono, dkk., 2001).
Berdasakan
elemen-elemen tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa: Kualitas
merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia,
proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Sedangkan TQM
adalah merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk
memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus-menerus atas
produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungannya). (Fandy Tjiptono, dkk.,
2001).
Sedangkan biaya kualitas
adalah biaya yang terjadi atau mungkin akan terjadi karena kualitas yang buruk.
Jadi, biaya kualitas adalah biaya yang berhubungan dengan penciptaan,
pengidentifikasian, perbaikan, dan pencegahan kerusakan. Biaya kualitas dapat
dikelompokkan menjadi 4 golongan yaitu:
1) Biaya
pencegahan (prevention cost).
2) Biaya
dteksi / penilaian (detection / appraisal cost)
3) Biaya
kegagalan internal (internal failure cost)
4) Biaya
kegagalan eksternal.
1) Biaya Pencegahan
Biaya ini
merupakan biaya yang terjadi untuk mencegah kerusakan produk yang dihasilkan.
Biaya ini meliputi biaya yang berhbungan dengan perancangan , pelaksanaan, dan
pemeliharaan system kualitas.
Ada beberapa
macam biaya yang termasuk dalam kelompok biaya pencegahan, yaitu:
a)
Teknik dan Perencanaan Kualitas.
Biaya yang dikeluarkan berkaitan
dengan patokan rencana kualitas produk yang dihasilkan, rencana tentang
kehandalan, rencana pemeriksaan, system data, dan rncana khusus dari jaminan
kualitas.
b) Tinjauan
Produk Baru.
Biaya yang dikeluarkan untuk penyiapan
usulan tawaran, penilaian rancangan baru dari segi kualitas, penyiapan program
percobaan dan pengujian untuk menilai penampilan produk baru dan
aktivitas-aktivitas kualitas lainnya selama tahap pengembangan dan pra produksi
dari rancangan produk baru.
c) Rancangan
Proses atau Produk.
Biaya yang dikeluarkan pada
waktu perancangan produk atau pemilihan proses produks yang dimaksudkan untuk
meningkatkan keseluruhan kualitas produk tersebut.
d) Pengendalain
Proses
Biaya yang dikeluarkan untuk
teknik pengendalian proses, seperti grafik pengendalian yang memantau proses
pembuatan dalam usaha mencapai kualitas produksi yang dkehendaki.
e) Pelatihan
Biaya-biaya yang dikeluarkan
untuk pengembangan, penyiapan, pelaksanaan, penyelenggaraan, dan pemeliharaan
program latihan formal masalah kualitas.
f) Audit
kualitas
Biaya-biaya yang dikeluarkan
untuk mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan terhadap rencana kualitas
keseluruhan.
2) Biaya Deteksi/Penilaian
Biaya
deteksi adalah biaya yang terjadi untuk menentukan apakah produk dan jasa
sesuai dengan persyaratan-peersyaratan yang kualitas. Tujuan utama fungsi
deteksi ini adalah untuk menghindari terjadinya kesalahan dan kerusakan
sepanjang proses perusahaan, misalnya mencegah pengiriman barang-barang yang
tidak sesuai dengan persyaratan kepada para pelanggan.
Yang
termasuk dalam jenis kualitas ini antara lain adalah biaya:
a) Pemeriksaan
dan pengujian bahan baku yang dibeli dengan kualifikasi yang tercantum dalam
pesanan.
b) Pemeriksaan
dan pengujian produk sesuai standar perusahaan, termasuk meneliti pengepakan
dan pengiriman.
c) Pemeriksaan
kualitas produk baik produk dalam proses maupun produk jadi.
d) Evaluasi
persediaan, yaitu biaya untuk menguji produk di gudang, dengan tujuan untuk
mendeteksi terjadinya penurunan kualita produk.
3) Biaya Kegagalan Internal
Biaya kegagalan internal adalah
biaya yang terjadi karena ada ketidaksesuaian dengan persyaratan dan
terdeteksi sebelum barang atau jasa
tersebut dikirimkan ke pihak luar (pelanggan).
Biaya
kegagalan internal terdiri atas beberapa jenis biaya, yaitu:
a) Sisa
bahan (Scrap).
Biaya ini adalah biaya yang
ditimbulkan karena adanya sisa bahan baku yang tidak terpakai dalam upaya untuk
memenuhi tingkat kualitas yang dikehendaki.
b) Pengerjaan
ulang. Biaya ini dilakukan untuk memenuhi standar kualitas yang disyaratkan.
c) Biaya
untuk memperoleh material (bahan baku). Biaya yang dikeluarkan karena adanya
penolakan (rejects) dan pengaduan (complaints) terhadap bahan
baku yang dibeli.
d) Factory
contact engineering. Biaya penilaian kelayakan terhadap hasil
produksi yang menyangkut masalah kualitas.
4) Biaya Kegagalan Eksternal
Biaya
kegagalan ekternal adalah biaya yang terjadi karena produk atau jasa gagal
memenuhi persyaratan yang diketahui setelah produk tersebut dikirimkan kepada
para pelanggan. Biaya ini merupakan biaya yang paling membahayakan, karena
dapat menyebabkan reputasi yang buruk, kehilangan pelanggan, dan penurunan
pangsa pasar. Biaya ini tidak perlu terjadi bila tidak ada kerusakan.
Biaya
kegagalan ekternal terdiri atas beberapa macam biaya, diantaranya adalah:
a)
Biaya penanganan keluhan selama masa garansi, melipui
reparasi, atau penukaran produk.
b)
Biaya penanganan keluhan di luar masa garansi.
c)
Pelayanan (servis) produk, yang diakibatkan oleh usaha
untuk memperbaiki ketidaksempurnaan atau untuk pengujian khusus, atau untuk
memperbaiki cacat yang bukan disebabkan oleh keluhan pelanggan.
d)
Product habity. Biaya yang timbul
sehubungan dengan jaminan atau pertanggungjawaban atas kegagalan memenuhi
standar kualitas (quality failures).
e)
Biaya penarikan kembali produk.
D. Kualitas Sebagai Alternatif Peningkatan Daya Saing dan Kepuasan Pelanggan
Berbicara mengenai
peningkatan daya saing dan kepuasan pelanggan maka yang muncul di benak kita
adalah bagaimana menciptakan suatu produk yang berkualitas dan mempertahankan
kepuasan para pelanggan. Dalam pendekatan TQM, kualitas ditentukan oleh
pelanggan karena semua usaha manajemen dalam TQM diarahkan kepada satu tujuan
utama yaitu terciptanya kepuasan pelanggan. Adanya kepuasan pelanggan dapat
memberikan beberapa manfaat, diantaranya (Fandy Tjiptono, 1994., p. 9).
1.
Hubungan antara perusahaan dan para pelanggannya
menjadi harmonis.
2.
Memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang
3.
Dapat mendorong terciptanya loyalitas pelanggan
4.
Membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke mulut (word-of-mouth)
yang menguntungkan bagi perusahaan.
5.
Reputasi perusahaan menjadi baik di mata pelanggan.
6.
Laba yang diperoleh dapat meningkat.
Dari pendapat beberapa ahli seperti Day dalam Tse dan Wilton,
1988, Wilkie, 1990, Engel et.al. 1990, dan Kolter, 1994 tentang kepuasan
pelanggan maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pengertian kepuasan
pelanggan mencakup perbedaan antara harapan dan kinerja atau hasil yang
dirasakan.
Ada beberapa unsure kualitas yang ditetapkan pelanggan,
yaitu:
1.
Pelanggan haruslah merupakan prioritas utama
organisasi, karena kelangsungan hidup organisasi tergantung pada pelanggan.
2.
Pelanggan yang dapat diandalkan merupakan pelanggan
yang paling penting. Pelanggan yang dapat diandalkan adalah pelanggan yang
melakukan pembelian berulang kali.
3.
Kepuasan pelanggan dijamin dengan menghasilkan produk
berkualitas tinggi. Kepuasan berimplikasi pada perbaikan terus-menerus sehingga
kualitas harus diperbaharui setiap saat agar pelanggan tetap puas dan loyal.
Dalam TQM kepuasan
pelanggan merupakan prioritas paling utama (bersifat outward-looking),
tidak seperti manajemen tradisional yang menerapkan manajemen berdasarkan hasil
(bersifat inward-looking).
Jadi kunci untuk membentuk
focus pada pelanggan adalah menempatkan para karyawan yang pandai berhubungan
dengan pelanggan dan memberdayakan mereka untuk mengambil tindakan yang
diperlukan dalam rangka memuaskan para pelanggan.
Sementara itu pengukuran
terhadap keberhasilan para pelanggan menjadi hal yang sangat esensial bagi
setiap perusahaan atau organisasi TQM. Beberapa metode dalam pengukuran
kepuasan pelanggan adalah sebagai berikut (Kolter, 1994, pp. 41-43):
1.
Sistem keluhan dan saran. Sistem ini dapat dilakukan
dengan menyediakan kotak saran, kartu komentar, customer hot-lines, dan
lain-lain. Informasi ini sangat berguna bagi perusahaan untuk menemukan ide-ide
cemerlang sehingga memungkinkan untuk bereaksi secara tanggap dan cepat untuk
mengatasi masalah-masalah yang timbul.
2.
Ghost Shopping. Dalam hal ini perusahaan
dapat mempekerjaan beberapa orang untuk bertindak sebagai pelanggan. Hal ini
penting untuk menemukan kelemahan produk di pasaran.
3.
Lost customer analysis. Sedapat mungkin pihak
perusahaan menghubungi para pelanggan yang berhenti dengan tujuan untuk mengetahui
mengapa mereka pindah.
4.
Survai kepuasan pelanggan. Maksudnya untuk memperoleh
umpam balik secara langsung dari pelanggan.
1. Kualitas, Profitabilitas, dan Daya Saing
Sebagaimana yang sudah disepakati dalam kerangka AFTA, APEC, dan WTO, setiap perusahaan harus menghadapi persaingan ketat dengan perusahan-perusahaan di seluruh dunia, lebih-lebih pada zama globalisasi sekarang ini. Konsumen yang merupakan “pembeli adalah raja” selalu ingin mendapatkan kepuasan dari perusahaan, hal inilah yang mendorong suatu perusahaan untuk memenuhi apa yang mereka harapkan dengan cara yang lebih memuaskan sehingga perusahaan tidak hanya terbatas perhatiannya pada produk atau jasa yang dihasilkan saja, akan tetapi lebih dari perusahaan memperhatikan pula aspek sumberdaya manusia dan lingkungan. Jadi hanya perusahaan yang benar-benar berkualitas yang dapat bersaing dalam pasar global.
Pada prinsipnya
setiap perusahaan mengahadapi lima kekuatan atau faktor persaingan seperti yang
dikemukakan oleh Porter (1980-1985), yaitu pesaing dalam industri yang sama,
bergaining, powe pemasok, bargaining power pembeli, ancaman pendatang baru, dan
ancaman dari produk substitusi.
Beberapa faktor
penentu persaingan adalah: a) Pertumbuhan industri, b) Biaya tetap/nilai
tambah, c) Kelebihan kapasitas intermiten, d) Diferensiasi produk, e) Identitas
merek, f) Biaya beralih pemasok, g) Konsentrasi dan keseimbangan, h)
Kompleksitas informasi, i) Ragam pesaing, j) Corporate stakes, h)
Hambatan keluar.
2. Komponen-komponen penunjang Daya Saing
Adapun komponen penunjang daya saing sangat
dipengaruhi oleh kondisi makro, seperti sistem politik, sosial, ekonomi,
hankam, dan lain-lain. Umumnya kekuatan
ekonomi suatu negara juga dipengaruhi daya saing dan kekuatan perusahaan-perusahaan yang ada di negara tersebut.
Dalam konteks suatu negara, indikator status
daya saing yang sering digunakan adalah:
1.
Standar hidup, biasanya berupa Gross National Product
(GNP) per kapita.
2.
Investasi, yaitu persentase GNP yang ditanamkan dalam
sektor pendidikan, peralatan, fasilitas, dan riset pengembangan.
3.
Produktivitas pemanufakturan, yaitu jumlah output yang
dihasilkan oleh setiap karyawan sektor manufaktur
4.
Perdagangan, yaitu pertumbuhan ekspor dan surplus
perdagangan.
Sedangkan
komponen dasar yang bermanfaat dalam mendukung peningkatan daya saing, yaitu
kebijakan industri, teknologi, dan sumber daya manusia.
E. Peningkatan Mutu Pendidikan
Sampai saat ini, dunia pendidikan
masih jauh tertinggal dibanding dengan negara-negara berkembang lainnya, hasil
ujian akhir yang masih selalu rendah sehingga ada rasa kepesimisan masyarakat
luas terhadap sekolah. Namun saat ini bangsa kita sudah mulai menyadari
berbagai kelemahan masa lalu yang tentunya tidak perlu diulang lagi terlebih
lagi di masa desentralisasi saat ini, segala permasalahan pendidikan hampir
semuanya ditangani bersama-sama antara pihak instansi terkait dengan
masyarakat/orang tua.
Abad ke-21 merupakan momentum yang
penuh tantangan bagi negara sedang berkembang seperti Indonesia. Kita perlu
mencari model baru manajemen pendidikan untuk meningkatkan mutu lulusan
sekolah. Tak ada salahnya jika kita mempelajari usaha-usaha di bidang
pendidikan dalam beberapa dekade terakhir abad XX di negara maju, seperti
Amerika, Jepang, dan Inggris. Negara tersebut kita itu perlu menerapkan TQM
dalam bidang pendidikan.(Syafaruddin, 2002).
Berpijak dari uraian di atas, kepala
sekolah dituntut lebih represif dalam menanggapi berbagai hal yang terjadi di
sekolahnya. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari kegagalan akaibat
menajemen yang lemah, lebih-lebih di masa otonomi saat ini.
Pemberlakuan otonomi daerah di bawah
payung Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah, menuntut para manajer atau pengelola lembaga pendididkan, khususnyan
rektor dan kepala sekolah, untuk mengadopsi manajemen mutu lulusan institusi
yang dipimpinnya. Aplikasi paradigma baru manajemen pendidikan terbuka luas
dengan adanya otonomi sekolah atau otonomi perguruan tinggi. (Syafaruddin,
2002).
Untuk lebih jelasnya diperlukan
beberapa strategi untuk mengimplementasikan manajemen mutu pendidikan dan
menciptakan sekolah yang efektif dengan manajemen mutu. Adapun strategi
tersebut sebagai berikut:
1.
Strategi Implementasi Manajemen Mutu Pendidikan
TQM yang pada
awalnya hanya merupakan pemikiran modern yang diaplikasikan dalam dunia
industri dan bisnis, tetapi dalam perkembangannya TQM dapat diadopsi untuk
dunia pendidikan. Untuk mencapai kepuasan customer pendidikan, hal-hal yang
perlu diperhatikan adalah mengembangkan manajemen yang kuat, menyempurnakan
mutu pendidikan, tujuan pendidikan harus jelas arahnya, biaya dikelola se
transparan mungkin, pengembangan kurikulum harus disesuaikan dengan kondisi
suatu daerah dengan tetap mengacu kepada aturan yang ditetapkan oleh pusat.
Jadi agar semua
yang dikemukan di atas dapat terlaksana dengan baik maka perlu menerapkan TQM
dalam dunia pendidikan, menurut Joseph C. Field, 1993:13 dalam Syafaruddin,
2001, ada sepuluh langkah yang harus
dilalui, yaitu:
1)
mempelajari dan memahami manajemen mutu terpadu secara
menyeluruh
2)
memahami dan mengadopsi jiwa dan filosofi untuk
perbaikan terus-menerus
3)
menilai jaminan mutu saat ini dan program pengendalian
mutu
4)
membangun sistem mutu terpadu (kebijakan mutu, rencana
strategis mutu, implementasi rencana, rencana pelatihan, organisasi dan
struktur, prosedur bagi tindakan perbaikan, pendefinsian terhadap nilai tambah
tindakan)
5)
mempersiapkan orang-orang untuk perubahan, menilai
budaya mutu sebagai tujuan untuk mempersiapkan perbaikan, melatih orang-orang
untuk bekerja pada suatu kelompok kerja
6)
mempelajari teknik untuk menyerang atau mengatasi akan
persoalan (penyebab) dan mengaplikasikan tindakan koreksi dengan menggunakan
teknik dan alat manajemen mutu terpadu.
7)
memilih dan menetapkan pilot project
untuk diaplikasikan
8)
tetapkan prosedur tindakan perbaikan dan sadari akan
keberhasilannya
9)
menciptakan komitmen dan strategi yang benar mutu
terpadu oleh pemimpin yang akan menggunakannya, dan
10) memelihara
jiwa mutu terpadu dalam penyelidikan dan aplikasi pengetahuan yang amat luas.
Jadi untuk
dapat melaksanakan pendidikan mutu terpadu tentunya harus ada komitmen yang
tinggi dari pihak instansi terkait bersama-sama dengan masyarakat.
2.
Menciptakan Sekolah efektif dengan Manajemen Mutu
Setiap orang memiliki hak
dan komitmen untuk mencapai kepuasan, untuk itu para pengelola pendidikan
dituntut memberikan pelayanan kepada para pelanggan pendidikan. Untuk dapat
mencapai status sekolah yang efektif, pembenahan sekolah terutama yang
berkaitan implementasi peningkatan mutu harus dilakukan baik kepada masyarakat
umum, maupun kepada para pelanggan pendidikan dengan tetap berpedoman kepada
manajemen mutu terpadu.
Namun demikian pelaksanaan TQM
tidak semudah yang dibayangkan karena menurut Schargel (1994), ada 11 tantangan
yang mungkin dihadapi dalam mengadopsi TQM terhadap pendidikan, yaitu:
1)
sekolah-sekolah tidak mengawasi sendiri sumberdayanya.
2)
Pendidikan tidak didasarkan pada nilai atau kepentingan
diri pelanggan dalam.
3)
Sekolah tidak mengendalikan sepenuhnya keadaan yang
mempengaruhi lingkungan pendidikan
4)
Adanya pengurangan dalam pembiayaan pendidikan
5)
Tujuan sekolah tidak ditentukan di dalam sekolah
6)
Masyarakat kurang menghargai pendidikan
7)
Guru-guru dan sekolah kurang responsif terhadap
perubahan.
8)
Sekolah terlalu lama mengalami kebekuan pemikiran
9)
Pelatihan guru dilakukan di luar sekolah
10) Pelanggan
sangat banyak setiap pergantian tahun
11) Mengabaikan
misi.
Walaupun
tantangan penerapan TQM ini cukup banyak, akan tetapi kesebelas faktor tersebut
kemungkinan akan dipengaruhi oleh kemajuan sosial ekonomi, politik, sains dan
teknologi suatu negara. Jadi dalam penerapannya tidak usaha pesimis karana
untuk menjadikan suatu organisasi yang efektif dan berhasil diperlukan suatu
strategi yang jelas dan mantap terutama dalam menghadapi persaingan.
F. Menetapkan Total Quality pada Pendidikan Tinggi dalam Proses Belajar
Sumbangsih
pendidikan tinggi di tanah air sudah tidak diragukan, perguruan tinggi telah
melahirkan banyak sekali sumberdaya manusia yang siap bersaing pada lapangan
kerja. Perguruan-perguruan tinggi tertua seperti UI, UGM, dan lain-lain yang
menjadi sumber inspirasi perguruan tinggi-perguruan tinggi lain di Indonesia.
Sebagaimana
organisasi industri, pendidikan tinggi juga memiliki “customer”, yaitu
pemakai hasil didik. Adapun “customer” tersebut merupakan “internal
customers”, yaitu pelaku-pelaku dalam rangkaian proses produksi, dan “eksternal
customer”, yaitu pemakai akhir hasil proses produksi.
Dalam
proses pendidikan itu selalu terjadi dialogi dan perdebatan antara “apa yang
diberikan kepaa siswa” dengan “apa yang dikehendaki oleh “customer”.
Dalam hubungan ini oleh Akao (1990) telah dikembangkan suatu teknik TQM yang
disebut “Quality Function Deployment (QFD)” guna memperoleh pengertian yang
lengkap tentang apa yang dikehendaki oleh “customer”, untuk kemudian
diterjemahkan ke dalam rencana pendidikan.
Mungkin
TQM dapat diterapkan di pendidikan tinggi dalam perbagai kegiatan sebagai
berikut:
1.
Pendidikan tinggi dapat melaksanakan penelitian dalam
TQM
2.
Pendidikan tinggi dapat mengajarkan asas-asas TQM
3.
Pendidikan tinggi dapat menerapkan TQM untuk
memperbaiki kualitas administrasinya
4.
Pendidikan tinggi dapat menerapkan TQM untuk memperbaiki
kualitas pengajaran di kelas.
Dalam
hal ini siswa dipandang sebagai penerima informasi yang pasif dan mempunyai
karakteristik yang tidak berubah. Anderson menyebut pandangan ini sebagai
pendekatan “receptive-actual”. Sebagai tampak pada gambar berikut.
Apa yang terjadi di dalam fihak siswa tidak begitu diperhatikan sehingga
merupakan “black box”.
Kondisi
sebelumnya
|
Tata-laku
|
Konsekuensi
|
Siswa
|
|||||||||
3.
Dalam pandangan “receptive-accrual” tersebut yang penting adalah pengaturan pengajar mengenai materi yang diberikan kepada siswa, dan pengaturan tentang konsekuensi untuk membentuk tata-laku siswa yang diinginkan. Dengan demikian, kuliah atau ceramah sebagai satu-satunya methoda pengajaran yang digunakan merupakan perwujudan pandangan “receptive-accrual”; dalam hal ini pengajar meneruskan informasi kepada siswa yang kemudian menyimpan informasi tersebut dan menyatakan kembali tanpa modifikasi.
Dengan perkembangan “cognitive
psychology” dan dominannya ilmu kognitif terhadap proses belajar, maka
terjadilah perubahan model yang memusatkan perhatian pada apa yang terjadi di
dalam fihak siswa. Dewasa ini dapat kita amati bahwa siswa melakukan kegiatan
pemrosesan informasi yang kompleks. Inilah yang mendorong Anderson
mengembangkan pandangan “cognitive-mediational”. Pandangan ini
mengakui bahwa tujuan untuk memahami dan mengingat informasi yang diterima
menuntut fihak siswa untuk melakukan kegiatan yang konstruktif dan bertujuan
yang jelas. Dengan demikian, pengajaran yang baik merupakan masalah untuk
memudahkan kegiatan kognitif yang baik dan membantuk siswa guna mengembangkan
cara untuk memanaje proses belajarnya.
Setelah meninjau kedua pandangan
tersebut di muka, kiranya lebih baik para pengajar menerapkan pandangan “cognitive-mediational”
dari pada pandangan konvesional “receptive-accrual”. Pendapat
tersebut dikemukakan berdasarkan pertimbangan” 1) model kognitif proses belajar
membantu para pengajar mengenai apa yang harus dikerjakan untuk mendorong siswa
melakukan kegiatan kognitif daripada hanya menyampaikan informasi kepada siswa;
hal ini adalah penting karena dapat membantu pengajar untuk memusatkan
perhatian pada variabel-variabel yang mempengaruhi proses belajar; 2) setelah
dapat mengendalikan variabel-variabel tersebut, maka agar siswa memperoleh
karakteristik koginitif dapat dilaksanakan melalui pengajaran.
1. Perlunya Struktur Pengetahuan
Dalam pandangan proses belajar
“cognitive-mediational”, konsep struktur pengetahuan merupakan konsep yang
mendasar. Dalam penelitian tentang proses belajr mengajar dewasa ini tidak ada
variabel yang berpengaruh besar daripada apa yang siswa sudah mengetahuinya.
Perlu kiranya kita sadari bahwa apa yang sudah siswa ketahui adalah lebih
penting daripada sekedar akumulasi informasi yang berasal dari pengajar dan
pengalaman sehari-hari. Kecenderungan siswa untuk membangun jaringan informasi
yang diterimanya digambarkan oleh struktur pengetahuan. Apabila kita mengatakan
bahwa proses belajar terjadi apabila siswa menangani informasi yang masuk, hal
ini berarti bahwa siswa mengaitkan informasi yang masuk tersebut dengan
struktur pengetahuan yang berfungsi sebagai tabir atau saringan terhadap
informasi yang masuk tersebut. Proses ini dapat divisualisasikan dalam gambar
berikut sebagai suatu model proses informasi.
|
informasi
|
|||||||||
|
|||||||||
Dengan
fungsinya tersebut tampaknya konsep struktur pengetahuan itu serupa dengan
paradigma. Tanpa paradigma seseorang
akan mengalami beban yang terlalu berat dan tidak dapat memilih serta memproses
informasi yang masuk akal.
Analog dengan hal tersebut di atas,
siswa yang menerima informasi baru yang tidak sesuai dengan struktur
pengetahuannya, akan mengalami kesukaran memproses informasi tersebut dan
menghayatinya, kecuali siswa tersebut dapat merubah struktur pengetahuannya.
Dalam pandangan “cognitive-mediational”,
adalah menjadi tanggung jawab pengajar untuk mengaktifkan proses kognitif siswa
agar dapat memproses informasi yang diterimanya.
2. Kaitan antara Teori Belajar dengan TQM
Menurut Deming (1986), dalam konteks
TQM di dalam organisasi, variasi “performance” sistem kerja perlu dibuat
sekecil mungkin. Selanjutnya menurut Peter Senge (1990), “learning
organization” perlu memanaje seluruh
sistem dengan memberdayakan setiap orang untuk berkembang dan memperbaiki
pekerjaannya secara kontinu.
Tanpa meninjau secara detail
seluk-beluk TQM, dapat dikatakan bahwa pandangan modern tentang proses belajar
tampaknya memberikan piranti kepada
pengajar dan siswa untuk bekerja sama guna mengoptimisasikan proses
belajar-mengajar.
Konsep utama TQM adalah kegiatan
menuju perbaikan secara kontinu. Teori
proses belajar yang telah ditinjau di muka dapat merupakan sarana
operasional untuk menuju perbaikan proses belajar-mengajar secara kontinu. Adapun
yang diperlukan dalam hal ini adalah pembahasan bersama tentang proses belajar
dan proses mengajar. Kiranya gerakan TQM dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
Deming menyatakan bahwa segala kegiatan tersebut harus dilaksanakan secara
sistemik. Untuk melaksanakan kegiatan secara sistemik tersebut tiga hal harus
dimanaj: 1) resiko untuk tidak melakukan perubahan harus dipersepsi lebih besar
daripada resiko melakukan perubahan; 2) perlu dirumuskan “vision” yang
jelas mengenai sistem yang lebih baik; 3) perlu rencana strategik dan rencana
tindak yang jelas untuk mewujudkan “vision” tersebut. (Soewarsono
Hardjosoedarmo, 2002).
Proses perubahan tersebut harus
terjadi pada tingkat lembaga pendidikan dan pada tingkat individual, yaitu
poengajar. Apabila pengajar secara individual menyesuaikan metoda mengajarnya
berdasarkan teori proses belajar tersebut di muka, sedang sistem lembaga
pendidikan tidak melakukan perubahan, maka TQM tidak merupakan cara terbaik
dalam lembaga pendidikan. Sebaliknya, apabila sistem telah melakukan perubahan
untuk mendukung apa yang terjadi di ruang kelas, sedangkan pengajar tidak
merubah metoda mengajarnya, maka siswa tidak dipersiapkan untuk menjadi hasil
didik yang baik. Jadi masih banyak hal yang harus dikerjakan agar “vision” TQM menjadi kenyataan. Apabila tranformasi
dapat dimulai secara simultan pada tingkat “pucak” dengan kepemimpinan untuk
melakukan perubahan terhadap sistem, dan pada tingkat “dasar” dengan pengajar
bekerja untuk memperbaiki kualitas pengajaran dengan menggunakan teori belajar
modern, maka perbaikan dalam pendidikan tinggi akan berlangsung cepat.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat
ditarik beberapa kesimpulan:
1.
TQM tidak hanya dapat digunakan untuk perusahaan bisnis
atau industri saja akan tetapi sangat cocok juga digunakan pada lembaga
pendidikan.
2.
Dalam sejarah mendirinya TQM mempunyai sejarah yang
begitu panjang yaitu lahir pada tahun 1920an dan berkembang di Amerika sekitar
tahun 1950an.
3.
Dalam menjual hasil produksi, yang paling penting
diperhatikan adalah kualitas barang tersebut, karena konsumen tidak hanya
melihat murah harga barang tersebut akan tetapi yang paling dipentingkan adalah
kualitas dari barang yang akan dibeli.
4.
Mutu pendidikan di Indonesia termasuk masih rendah
dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, akan tetapi dengan penerapan
TQM, diharapkan perkembangan mutu pendidikan di Indonesia akan semakin maju.
5.
Pendidikan tinggi di Indonesia dapat menerapkan TQM,
tidak hanya kepada mahasiswa akan tetapi dalam memperbaiki kualitas
administrasinya.
Daftar
Pustaka
Hardjosoedarmo,
Soewarso, 2002. Total Quality Management, Edisi Revisi, Andi,
Yogyakarta.
Sallis,
Edward, 1993. Total Quality Management, Kogen Page Limited, London.
Syafaruddin,
2002. Manajemen Mutu Terpadu, Grasindo, Jakarta.
Taylor,
A.W. & Hill, F.M. (1993), “Issues for Implementing TQM in Further and
Higher Education: The Moderating Influence of Contextual Variables”,
Quality Assurance in Education, Vol. 1, No. 2, pp. 12-21.
Tjiptono,
Fandy, dkk., 2000. Perspektif Manajemen dan Pemasaran Kontemporer, Andi, Yogyakarta.
Tjiptono,
Fandy, dkk., 2001. Total Quality Management, Edisi Revisi, Andi,
Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar